Ketua DPRD Muratara, Devi Arianto, tampil vokal menyuarakan perlunya perombakan besar dalam postur APBD. Ia menegaskan bahwa DPRD tidak lagi ingin melihat anggaran daerah terjebak pada rutinitas yang tidak produktif.
“APBD ini bukan milik segelintir pejabat, melainkan milik rakyat. Sudah terlalu lama kita terjebak dalam pola anggaran boros. Sekarang waktunya berbenah. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus berdampak nyata pada masyarakat,” tegas Devi dalam forum paripurna tersebut.
DPRD secara gamblang menyoroti sejumlah pos anggaran yang dianggap tidak memberikan multiplier effect bagi perekonomian lokal. Beberapa di antaranya adalah belanja perjalanan dinas yang dinilai terlalu besar, pengadaan barang-barang yang tidak mendesak, serta proyek fisik yang tumpang tindih dan minim partisipasi masyarakat.
Legislatif menegaskan, jika pola anggaran seperti ini dibiarkan, maka APBD hanya akan menjadi “mesin pemborosan” tanpa kontribusi signifikan terhadap kesejahteraan rakyat. “Belanja yang tidak produktif harus dipangkas. Uang rakyat jangan dihamburkan untuk hal-hal yang tidak menyentuh kebutuhan dasar,” ujar salah satu anggota dewan dalam sesi interupsi.
Selain itu, DPRD juga menekankan pentingnya konsolidasi lintas sektor. Mereka menilai, lemahnya sinergi antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis dengan perangkat perencanaan menjadi salah satu penyebab anggaran daerah sering tidak tepat sasaran.
“Banyak program yang lahir tanpa data mikro yang valid, hanya berdasarkan asumsi atau keinginan sesaat. Akhirnya, uang habis tapi hasilnya tidak terasa di masyarakat,” ungkap anggota Komisi II.
Oleh karena itu, DPRD meminta pemerintah daerah melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk lebih terbuka, transparan, dan siap melibatkan DPRD dalam setiap tahapan perencanaan. Hal ini dinilai penting agar strategi pembangunan daerah lebih komprehensif dan realistis.
Dalam forum paripurna, sejumlah anggota DPRD juga menyinggung adanya ego sektoral di tubuh birokrasi. Ego sektoral ini kerap membuat setiap OPD berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi, sehingga menimbulkan tumpang tindih program. Kondisi ini bukan hanya membuang waktu, tetapi juga menyedot anggaran secara tidak efektif.
“Kalau pemerintah daerah masih ngotot dengan ego sektoral, jangan salahkan DPRD bila kami ambil langkah pengawasan lebih keras. Anggaran ini milik publik, bukan milik pejabat,” tegas seorang anggota Komisi I.
Paripurna kali ini juga dipandang sebagai momentum rekonsiliasi fiskal. DPRD Muratara mengajak pemerintah daerah untuk duduk bersama, meninggalkan pola lama, dan mulai menyusun strategi anggaran yang berpihak pada rakyat. DPRD berkomitmen akan terus menjadi jembatan antara masyarakat dan kebijakan fiskal daerah.
“Anggaran harus diletakkan di jalur yang benar: untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, serta pemberdayaan ekonomi rakyat. Jika ini dijalankan, Muratara bisa tumbuh lebih cepat,” ujar Devi menambahkan.
Meskipun gagasan DPRD ini dinilai progresif, publik tetap menunggu implementasinya. Sejumlah aktivis lokal menilai, pernyataan keras DPRD harus dibuktikan dengan sikap nyata saat pembahasan detail anggaran nanti. “Selama ini kritik sudah sering terdengar, tapi apakah DPRD benar-benar berani menolak anggaran yang boros? Itu yang akan jadi ukuran,” kata seorang pemerhati kebijakan publik di Muratara.
Dengan menekankan prinsip efektivitas, akuntabilitas, dan transparansi, DPRD Muratara berharap perubahan KUA-PPAS 2025 bukan hanya rutinitas formal, melainkan titik balik dalam reformasi pengelolaan keuangan daerah. Hanya dengan cara itulah APBD benar-benar bisa menjadi instrumen keadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.
Red.