Oleh : Fauzan Hakim S.Ag
Musirawas- Perayaan HUT RI ke 80, 17 Agustus tinggal menghitung hari. Sebagai bangsa yang besar dan menghormati jasa para pahlawan, masyarakat Indonesia akan memperingati hari kemerdekaan dengan penuh sukacita, semangat, dan semarak, dengan cara menggelar upacara dan berbagai perlombaan guna memeriahkan acara.
Namun dibalik kemeriahan perayaan tahunan dan kibaran Sang Merah Putih, tersembunyi realita pahit yang jauh dari cita-cita para pendiri bangsa.
Bahkan suka cita dan uforia kegembiraan itu nampaknya akan dibatalkan oleh realitas atau kondisi semu penuh dengan tipu daya. Ketidakadilan, kemiskinan, kemunafikan serta kebodohan ditengah kehidupan sosial yang menjadi sebuah ironi kemerdekaan.
Tulisan singkat ini mencoba menjelaskan apa sesungguhnya arti sebuah kemerdekaan, benarkah kita sudah merdeka? Bagaimana pula cara agar bangsa ini terhindar dari keterpurukan ini? Berikut penjelasannya.
Kata "merdeka" diserap dari bahasa Sansekerta "maharddhika", yang artinya kekayaan, kemakmuran, dan kekuasaan. Dalam bahasa Indonesia, merdeka memiliki 3 (tiga) makna yaitu bebas dari belenggu atau penjajahan, tidak terkena atau lepas dari berbagai tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu.
Menurut filsuf, merdeka adalah kesetaraan sebagai manusia, dimana tidak ada manusia yang merasa lebih tinggi lalu kemudian merendahkan sesama.
Dari definisi tersebut disimpulkan
merdeka berarti bebas dari segala bentuk belenggu. Hal ini mencerminkan situasi di mana setiap individu mendapatkan hak-haknya, kebutuhan hidupnya terpenuhi, dapat mengakses pendidikan, bekerja, dan mendapat perlindungan serta keadilan di mata hukum.
Poin penting dari pengertian kata merdeka adalah kesejahteraan dan keadilan, kesetaraan, kebebasan, serta kebahagiaan dalam kehidupan yang dijamin oleh Negara. Dari definisi itu, hampir tidak kita temukan apa sebenarnya kemerdekaan serta makna perayaan hari ulang tahun kemerdekaan?
Fakta Indonesia belum merdeka, dapat dirasakan dari realitas kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang semakin memburuk. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela menyisakan senyum getir di hadapan kata merdeka, sebuah pemandangan ironi.
Bahkan fakta tersebut terlihat jelas dalam beberapa kejadian yang berbanding terbalik dengan kata “merdeka” itu sendiri. Pemandangan ini begitu nyata. Di pusat kota, gedung pencakar langit berdiri megah, mal mewah penuh pengunjung, mobil-mobil mahal berseliweran. Namun, pada saat yang sama, masih ada keluarga yang hanya makan sekali sehari, anak-anak yang putus sekolah, dan orang tua yang berobat dengan mengandalkan belas kasihan tetangga.
Fakta lain mengungkapkan, peristiwa tragis dan memilukan pernah terjadi 2024 lalu di Medan, kita mendapat kabar duka, seorang tukang ojol yang meninggal akibat kelaparan saat mengantri makanan buat pelanggannya. Kita juga menyaksikan peristiwa tragis, seorang pria di NTT menikam perutnya karena tak mampu membeli beras buat menghidupi keluarganya.
Jadi, kemiskinan Rakyat seperti sengaja dibiarkan. Seolah lupa pendapat sosiologi Franz Magnis-Suseno, bahwa “Negara yang membiarkan sebagian warganya hidup dalam kemiskinan ekstrem, sementara yang lain hidup berlimpah, adalah bangsa yang sedang berjalan menuju "keruntuhan moral yang dalam waktu tak lama akan mengalami kebinasaan,"(Quraish Shihab).
Mungkin juga penguasa dan elite di Negara ini lupa bahwa salah satu tanda kehancuran sebuah bangsa adalah ketika Negara memungut pajak secara paksa kepada rakyat lemah. Ibnu Khaldun berkata: "Diantara tanda sebuah negara akan hancur adalah semakin besar dan beragam jenis pajak yang dipungut ke rakyatnya.”
Ekonom peraih Nobel Amartya Sen menekankan bahwa pembangunan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi dari sejauh mana warga dapat hidup bebas dari kelaparan, kebodohan, dan penindasan.
Fakta lain, hukum sering dipraktikkan dengan prinsip tajam ke bawah, tumpul ke atas. "Rakyat kecil yang mencuri karena lapar mudah sekali dipenjara, sementara para koruptor yang merugikan negara miliaran rupiah bisa tetap tersenyum di depan kamera".
Disisi lain Media semestinya menjadi pilar demokrasi, penyalur informasi yang jujur dan pembela kepentingan rakyat. Namun, pada kenyataannya, sebagian media berubah menjadi corong kekuasaan, menyiarkan narasi yang menguntungkan pihak tertentu dan mengabaikan suara kritis.
Budayawan Goenawan Mohamad pernah mengingatkan: “Pers yang tunduk pada kekuasaan akan mematikan demokrasi, karena rakyat kehilangan hak untuk tahu yang sebenarnya.”
Menyikapi fenomena ini, penulis mengajak semua elemen bangsa ini untuk berpikir dengan menggunakan pikiran jernih lalu bertanya: Benarkah disebut merdeka ketika rakyat hidup disebuah Negara dengan kebijakan pemerintah yang akhir-akhir ini semakin kejam dan membabi buta seperti pajak yang terus menindas, kenaikan harga semakin tak terkendali ditambah lagi isu pemblokiran rekening dormant, juga pernyataan gila seorang menteri yang menyebut lahan atau tanah warga yang tak digarap selama 2 tahun akan disita negara yang konon pernyataan itu dicabut?"
Dan memang kedudukan atau kekuasaan sering membuat orang lupa bahkan kehilangan kemampuan berpikir jernih atau tidak rasional. Sehingga kekuasaan seolah telah menjadi tempat bersenang-senang bagi segelintir orang, sementara rakyat yang seperti kehilangan harapan ini justru kian terhimpit.
Dari sejumlah fakta ini, menunjukkan bahwa kita masih dijajah, bahkan boleh jadi Negeri ini diambang kehancuran bila; "ketidakjujuran masih mengisi kemerdekaan sehingga matinya nilai keadilan dan kebenaran, ketika kebohongan dianggap kebenaran." Coba renungkan, Apakah layak disebut merdeka bila masih terdengar jeritan rakyat kecil yang meninggal karena kelaparan bahkan bunuh diri, kesal karena tak sanggup membeli beras buat keluarganya.
Atau apakah dinamakan merdeka ketika Negara masih terus memperkarakan warganya, hanya karena menyampaikan kritik atau kebenaran terhadap pemerintah.
Menanggapi paradoks sosial ekonomi ini, penulis ingin mengatakan bahwa kita ini sedang ditindas dan dijajah oleh bangsa kita sendiri. Bung Karno pernah bilang, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri."
Artinya Soekarno mengingatkan tentang ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia setelah merdeka. Ucapan Soekarno ini terbukti. Sejak awal kemerdekaan, selalu muncul konflik, mulai dari konflik soal penetapan dasar negara, perebutan kekuasaan, hingga penyelewengan serta konflik sosial lain yang akhir-akhir ini semakin memperihatinkan.
Akhirnya ada ungkapan, Bangsa yang besar dan kuat adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya, untuk mengisi hakekat kemerdekaan, maka yang perlu dilakukan adalah mengenang para pahlawan. Namun untuk saat ini, ungkapan itu nampaknya hanya sebatas slogan atau boleh dibilang omon-omon. Mengapa?
Sebab, andai ungkapan ini ditanyakan ke para leluhur yang telah mendahului kita, pastilah mereka akan bilang kepada para pemimpin di negeri ini,"Kami tidak butuh dikenang, tapi yang kami inginkan adalah keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat dan jangan jadi penghianat."
Dan bagi sangsaka merah putih yang selalu berkibar diketinggian tiang bendera, andai ia bisa bicara, mungkin ia akan berteriak dengan lantang,"Turunkan saja aku dari puncak ketinggian ini, karena percuma saja aku berkibar dengan gagah, akan tetapi merah dan putihku tidak pernah lagi engkau anggap ada."
Menutup tulisan singkat ini penulis ingin menyampaikan, bahwa upacara hari kemerdekaan setiap 17 Agustus disertai lomba yang diselenggarakan panitia dengan berpayah-payah itu, tidak lebih dari sekedar rutinitas atau ceremonial dan lucu-lucuan atau hiburan sesaat untuk melupakan pikiran penat serta beban berat. Setelah lomba selesai, rakyatpun kemudian dihadapkan lagi pada masalah hidup yang menghimpit.
Masih ada harapan.
Meski situasi tampak suram, sejarah membuktikan bahwa setiap masa sulit melahirkan momentum kebangkitan. "Perubahan besar tidak selalu datang dari ruang rapat para penguasa, tetapi sering lahir dari kesadaran rakyat yang bersatu dan berani menyuarakan kebenaran termasuk para ulama yang akhir-akhir ini nyaris bungkam."
Ada sebuah ungkapan Inggris mengatakan “enough for evil to thrive when the good people do nothing”, yang artinya kurang lebih: "Kejahatan akan merajalela ketika orang-orang baik diam”. Artinya ketika kita diam melihat kemungkaran jangan harap negeri ini akan membaik bahkan boleh jadi akan semakin cepat mengalami kebinasaan.
Karena itu Alquran mengingatkan kewajiban umat Muslim menyuarakan kebenaran dan menentang kebathilan (QS. Ali-Imran (3 ): 110) serta mencegah kemungkaran bagi orang beriman sesuai posisi dan kemampuan (HR. Muslim, no. 49).
Politisi senior Amien Rais pernah berkata: “Ketika rakyat sadar akan haknya dan berani menuntut, maka penguasa yang zalim tak akan bisa bertahan.”
Jadi, Indonesia memang sudah merdeka secara de jure dan de facto, namun, dari segi pemikiran, dan ekonomi sungguh negeri ini belum merdeka.
Kedua, bangsa ini tidak akan berubah jika rakyat hanya mengeluh. Ia akan berubah jika kita berani mengambil peran untuk bersuara, bergerak, menolak ketidakadilan, dan membangun kekuatan bersama. Tuhan-pun telah mengingatkan,"bahwa Dia tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum atau masyarakat itu sendiri yang mengubahnya ".( QS. Ar-Ra'd (13) :11).
Pada akhirnya, negeri ini bukan milik segelintir elite. Indonesia adalah milik kita semua, dan masa depannya ada di tangan kita. Bila harapan ini terwujud, barulah Indonesia disebut merdeka.
Penulis adalah S1 lulusan 1999 Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang.
Tags:
opini