Merangin - Aroma pungutan liar (pungli) menyeruak dari SDN 300VI Sungai Tebal Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Sejumlah wali murid mengungkap adanya penjualan buku kepada siswa dengan harga mencapai Rp 28 ribu per eksemplar, tanpa bukti kwitansi, dan dilakukan dengan tekanan terselubung. Modus yang disebut-sebut berkedok “pameran buku” ini diduga kuat menyalahi aturan hukum sekaligus melukai integritas dunia pendidikan dasar.
Keterangan wali murid menggambarkan praktik ini bukan sekadar jual-beli biasa. Anak-anak merasa tertekan untuk membeli, bahkan ada yang meronta-ronta meminta kepada orang tuanya agar dibelikan karena takut malu jika tidak ikut membeli. Seorang wali murid menuturkan, ada guru yang menyuruh murid membeli, sesuatu yang dinilai mustahil dilakukan tanpa sepengetahuan kepala sekolah. Tekanan psikologis terhadap murid jelas terjadi, meskipun penjualan disebut “tidak memaksa”.
Brosur yang beredar di kalangan siswa menampilkan daftar 41 judul buku dengan harga Rp 5 ribu hingga Rp 28 ribu, lengkap dengan judul untuk kelas 1 hingga 6, serta label penyelenggara atas nama "Berdikari Brothers". Brosur itu bahkan menjadwalkan acara pameran buku lengkap pada jam istirahat sehari setelah brosur diterima. Fakta ini menunjukkan adanya pola terorganisir yang menyusup langsung ke ranah sekolah, alih-alih transaksi sukarela yang benar-benar murni.
Penjualan tanpa kwitansi membuat dugaan pungli semakin kuat. Tanpa bukti resmi, aliran uang wali murid menjadi gelap, berpotensi mengarah pada praktik pengayaan pribadi atau pengelolaan dana di luar mekanisme sekolah. Seorang wali murid bahkan menyebut langsung: “Ini pungli berkedok jual beli buku pelajaran.”
Praktik ini berpotensi melanggar Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang dengan tegas melarang sekolah melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua. Penjualan yang berujung pada tekanan psikologis dan tanpa dasar hukum dapat dikategorikan sebagai pungutan liar.
Selain itu, secara pidana, tindakan tersebut beririsan dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, yang menyebut: barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu, diancam dengan pidana penjara maksimal 9 tahun. Pemaksaan secara halus, lewat rasa malu atau tekanan dari guru, bisa ditafsirkan sebagai bentuk pemerasan terselubung.
Lebih jauh, tindakan tanpa kwitansi dan tanpa transparansi juga bisa dianggap sebagai maladministrasi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang memberi ruang bagi Ombudsman untuk memeriksa laporan dugaan penyimpangan pelayanan. Jika praktik ini terbukti dilakukan secara sengaja, pelaku juga dapat dijerat melalui mekanisme Saber Pungli sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016.
Jika terbukti, sanksi yang dapat dijatuhkan bervariasi. Secara administratif, guru atau kepala sekolah bisa dikenai teguran, penurunan pangkat, hingga pemberhentian dari jabatan. Secara pidana, ancaman Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dapat menyeret pelaku ke penjara hingga 9 tahun. Bahkan, jika ada indikasi keuntungan pribadi dari transaksi gelap ini, pasal-pasal terkait korupsi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 dapat digunakan, dengan ancaman penjara lebih berat lagi.
Dugaan pungli berkedok jual-beli buku di SDN 300VI Sungai Tebal bukan hanya masalah etika pendidikan, tetapi dinilai sudah menyentuh ranah hukum pidana dan administrasi. Tekanan psikologis pada murid, ketiadaan kwitansi, serta pola penjualan terstruktur memperlihatkan celah penyimpangan serius. Publik menunggu sikap tegas Dinas Pendidikan dan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas. Jika dibiarkan, kasus ini akan menjadi preseden buruk: sekolah bukan lagi tempat belajar yang murni, melainkan pasar gelap yang menggerus hak anak untuk belajar tanpa tekanan.