Oleh : Pauzan Hakim, S.Ag
Dari rentetan peristiwa dan permasalahan krusial yang menimpa bangsa Indonesia hingga hari ini, tampak belum ada tanda-tanda menuju ke arah perbaikan. Kendati dengan tertatih-tertatih, Pemerintah dibawah kepemimpinan Prabowo terus berbenah, dan mulai tampak ada tanda-tanda kemajuan. Hal itu tampak dari kebijakannya memberikan abolisi kepada Tom lembong dan amnesti ke Hasto Kristianto.
Tidak dipungkiri bahwa apa yang diderita masyarakat saat ini adalah sebagai dampak kebijakan sepuluh tahun rezim Jokowi yang menyisakan penderitaan serta kekacauan disegala lini. Kebijakan yang tak memihak rakyat bahkan terus menindas. Seperti jumlah rakyat miskin yang kian bertambah yang kemudian memicu perilaku buruk masyarakat. Berbagai bentuk kejahatan, Kezaliman, kemungkaran, kemaksiatan yang dilakukan anak bangsa sampai kini arusnya tampak semakin deras seakan tak terbendung.
Berbagai perilaku menyimpang lain, seperti narkotika, perjudian secara terang-terangan, pencurian, pemerkosaan, tindak kekerasan hingga kasus pembunuhan. Tindakan- tindakan asusila lainnya seperti pornografi, pornoaksi, perzinahan hingga sampai pada sek bebas dikalangan dewasa, remaja, hingga merambah ke murid-murid sekolah. Na'udzubillah.
Padahal dalam Islam mencegah kemungkaran merupakan kewajiban bagi umat muslim, terutama ulama yang memiliki otoritas menyuarakan kebenaran. Pada saat sama mereka tak banyak berbuat, bahkan mayoritas lebih memilih mendekati istana.
Kendati ada yang bersuara (menentang) itupun jumlah tak seberapa hingga bahkan tersisih dan tak ada yang benar-benar mau membela saat menyuarakan kebenaran, sampai berujung di jeruji besi.
Kehadiran presiden Prabowo yang diharapkan bisa menjadi jawaban atas permasalahan bangsa, yaitu meredam kemarahaan dan kekecewaan rakyat yang puncaknya diucapkan saat aksi demo beberapa hari lalu, dirasa belum begitu berarti, sepintas masih jauh dari harapan. Namun arahnya sudah tanpa menuju kepada perbaikan hanya saja persoalan waktu mengingat masa jabatan yang masih terlalu singkat untuk sebuah perubahan.
Singkat cerita, bahwa sepanjang sejarah, sejak kemerdekaan indonesia sampai detik ini, harapan menuju masyarakat adil, dan sejahtera serta bermartabat masih belum terasa dampak positifnya, hingga sampai kapan ini berakhir, masyarakat terus menunggu. Namun yang pasti apa yang dirasakan masyarakat saat ini adalah sebuah kehidupan yang sulit, tak menentu dengan segudang masalah.
Dan satu hal yang membuat penulis tak habis pikir, yaitu kekayaan alam Indonesia yang berlimpah, dari hasil-hasil bumi semisal hasil tambang, emas, nikel, batu bara, dan gas bumi belum lagi hasil pertanian, kelapa sawit dan lain sebagainya. Keseluruhannya, tidak dapat menjamin dan membawa kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Malah justru rakyat semakin lama semakin tertindas.
Berdasarkan keterangan beberapa pengamat, menyebut jika kekayaan alam ini benar-benar dikelolah dengan baik, maka satu kepala manusia Indonesia akan menerima uang Rp20 juta setiap bulan tanpa harus bekerja. Luar biasa hebat negeri ini! Bikin sesak nafas. Rasa marah, kecewa dan muak atas perilaku elit dan manusia-manusia yang diberi Tuhan amanah untuk mengelolah negeri ini dengan baik tapi malah berkhianat.
Lalu, negera ini mau dibawa kemana? Apa sebenarnya yang menjadi penyebab kekacauan semua ini? Sehingga begitu menderitanya hidup di negeri yang katanya kaya tapi rakyat masih tetap hidup dibawah garis kemiskinan? Apa yang salah dengan bangsa ini. Betapa sulitnya mencari kerja. Betapa sulitnya mecapai sebuah cita-cita dan harapan yaitu hidup damai dan sejahtera dibawah payung Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 sesuai cita-cita para pahlawan bangsa.
Kitapun patut bertanya, mengapa Keadilan suka didapat, hukum dipermainkan, ekonomi terus memburuk, biaya sekolah mahal, biaya kuliah mahal, kesehatan tinggi, harga-harga mencekik, bahkan tak jarang karena miskin seorang kepala rumah tangga di NTT merobek perutnya, kesal karena tak mampu beli beras buat menghidupi keluarganya. Tidak sedikit pula masyarakat yang meninggal karena menderita kelaparan.
Sementara Pada saat yang sama para elit dan para pejabat berpoya-poya dengan segala kemewahan yang uang pembeliannya dari hasil cucuran keringat rakyat. Sungguh miris dan ngeri tinggal di negeri yang katanya sebagai umat muslim terbesar tapi para petingginya berperilaku korup. Sungguh memalukan bahkan memilukan.
Lalu, siapa yang salah? rakyatkah atau para pemimpin? Atau mungkin kelemahan peraturan-perundangan yang dibuat? Atau jangan-jangan ini murka Tuhan yang muak atas kelakuan elit dan para pejabat atau mungkin juga masyarakat yang saban waktu bermaksiat lalu mengabaikan perintah Tuhan.
Untuk itu, sejauh yang penulis pahami tentang sejarah kehidupan umat manusia, melalui peristiwa sejarah, data, serta didukung dalil-dalli Qur'an dan hadits termasuk ungkapan atau fatwa orang tua terdahulu, termasuk pengamat, maka pada kesempatan ini, penulis mencoba memberikan pandangan sekaligus jawaban atas permasalahan ini dengan harapan agar bangsa ini bisa terhindar dari ancaman kepunahan seperti yang pernah diucapkan oleh bapak Prabowo sebelum menjabat sebagai presiden. Setidaknya memberi pencerahan. Berikut ulasannya!
Pemimpin itu cermin rakyatnya!
Mengutip dari tafsir “Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an”, dijelaskan bahwa ketika rakyat melakukan perbuatan zalim, berbuat kerusakan, lalu melalaikan kewajiban. Maka orang-orang zalim akan diangkat menjadi penguasa mereka. Namun sebaliknya, jika senantiasa istiqamah dalam kebaikan, niscaya Allah akan memperbaiki kondisi mereka dan mengangkat pemimpin yang adil bagi mereka."
Al Qur'an Surat Al-An'am ayat : 129 berbunyi, "Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang dzalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan".Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang berbuat dzalim atau melakukan kemungkaran, antara satu dan yang lain keduanya saling terkait sebagai hukuman atas perbuatan mereka. Hal ini menyebabkan mereka saling menyesatkan dan terjerumus ke dalam kekafiran dan keburukan.
Dari kedua kutipan ayat ini menyiratkan betapa pentingnya hubungan antara kualitas rakyat dan kualitas kepemimpinan. Pemimpin itu bagaimana masyarakatnya. Ia lahir dari rahim rakyat. Bagaimana keadaan masyarakat begitu juga pemimpinnya. Hal ini sejalan dengan ungkapan,
“Bagaimanapun keadaan rakyat, maka begitulah keadaan pemimpin mereka".
Sejarah mencatat beberapa peristiwa dimasa kejayaan Islam. Bagaimana Kisah seorang khawarij menemui imam Ali bin Abi Thalib, ia mempertanyakan perbedaan antara masa kepemimpinan Imam Ali yang kerap dikritik masyarakat yang berbeda dengan kepemimpinan dimasa kekhalifahan Abu bakar siddik dan Umar ibn khattab, yang jauh dari keluhan apalagi protes.
Begini jawaban imam Ali bin Abi Thalib : Itu dikarenakan pada zaman Abu Bakar dan Umar, yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang seperti-ku. Sedangkan dimasa kepemmimpin ku, rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu! (Syarah Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin).
Demikian juga dimasa kepemimpinan Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis. Islam pernah mencapai masa kejayaan. Dimana pada waktu itu masyarakatnya merupakan masyarakat terbaik. Namun ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Jadi, Pemimpin itu sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Begitu pula kepemimpinan orang-orang sebelumnya, akan sesuai pula dengan kondisi rakyat pada saat itu. Berarti benarlah ungkapan pemimpin itu cermin rakyat!
Frasa "pemimpin itu cermin rakyat", mengandung makna bahwa kualitas dan tindakan seorang pemimpin sering kali mencerminkan karakter, nilai, dan perilaku rakyat yang dipimpinnya. Jika rakyat cenderung menjunjung tinggi moralitas, integritas, dan kebaikan, atau keshalehan, maka pemimpin yang mereka pilih atau dihasilkan akan cenderung memiliki nilai-nilai serupa. Sebaliknya, jika rakyat memiliki moralitas yang rendah, korupsi, atau bahkan senang bermaksiat, maka pemimpinnya juga akan cenderung mencerminkan hal tersebut.
Jadi, konsep ini menuntut rakyat untuk melakukan introspeksi diri dan memperbaiki perilaku serta moralitas mereka sendiri, karena hal itu akan memengaruhi kualitas kepemimpinan yang ada di masyarakat. Itu berarti antara pemimpin dan rakyat tidak dapat dipisahkan dalam hal kualitas. Keduanya saling memengaruhi dan mencerminkan satu sama lain, seperti yang digambarkan dalam berbagai ayat -ayat Qur'an termasuk surah Al-An'am ayat 129 dan hadis-hadits Rasulullah SAW.
Itu berarti pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya, yang mendoakan dan didoakan. Dari sinilah nantinya memunculkan energi positif antara penguasa dan rakyat. Pesan moranya, alih-alih hanya menyalahkan pemimpin, terlebih dahulu masyarakat semestinya perlu berkaca pada diri sendiri, lalu berusaha menjadi rakyat yang baik. Karena karena pemimpin yang baik akan muncul dari rakyat yang baik.
"Dan untuk mengubah keadaan rakyat agar menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada".
Caranya dengan memperbaiki aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Allah berfirman,“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri"(QS. Ar Ra’du (13}: 11).
Nah, dari kutipan ayat ini jelas, bahwa terhadap persoalan yang menimpa bangsa ini, akan lebih adil bila rakyat harus bercermin. Tidak perlu rakyat selalu menyalahkan pemimpin atau presidennya. Semua itu bermula dari kesalahan rakyat itu sendiri. Jika mereka suka korupsi, begitulah keadaan pemimpin mereka. Jika mereka suka “suap”, maka demikian pula keadaan pemimpinnya. Atau jika rakyat suka akan maksiat, demikianlah yang ada pada pemimpin mereka.
Bagi muslim, jika masyarakatnya taat, suka mengerjakan Shalat lalu menjauhi maksiat, maka pemimpinnya juga orang-orang yang kuat karena selalu menegakkan shalat yang pasti akan menjaga amanah dan mustahil berkhianat kepada rakyat. Itu berarti, jika setiap rakyat memikirkan hal ini, maka tentu mereka tidak sibuk mencari kesalahan apalagi mengumbar aib penguasa. Malah mereka akan sibuk memikirkan nasib mereka sendiri, merenungkan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat.
Diamnya orang baik terhadap kebenaran mengundang Murka Allah!
Alquran menjelaskan bahwa musibah atau siksaan yang turun, tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat dzalim, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, terutama jika mereka membiarkan kemungkaran terjadi tanpa melakukan pencegahan. (QS.Al Anfal [8] :25). Oleh karena itu Alquran memberi peringatan agar umatnya tidak diam ketika menyaksikan ada perbuatan mungkar (QS Al Nahl [16]:.110).
Ada ungkapan, "Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat. Tetapi karena diamnya orang-orang baik." Hal senada pernah diungkapan, “enough for evil to thrive when the good people do nothing”. Arti ungkapan ini kira-kira: “cukuplah kejahatan itu akan merajalela ketika orang-orang baik tidak melakukan apa-apa”.
Kedua ungkapan ini tanpa perlu memperdebatkan asal muasal riwayatnya, sangat relevan dan sejalan dengan ayat-ayat Qur'an dan hadits-hadits Rasul, yang pada prinsipnya menjelaskan tentang anjuran kepada umat muslim untuk menyuarakan kebenaran, terkhusus ketika melihat kemungkaran atau kedzaliman, sebagai umat pilihan (QS An Nahl [16]: 125).
Kensekwensi ayat ini, menegaskan tentang perintah menegakkan amar ma'ruf nahi Munkar. Dimana orang-orang baik agar tak boleh diam ketika melihat kedzaliman termasuk kemungkaran. Dan Jika mereka diam, sama halnya melakukan pembiaran. Efeknya kejahatan akan semakin meluas yang dampaknya tidak hanya mengena pelakunya tetapi juga akan menimpa masyarakat secara keseluruhan.
Bahkan Alqur’an pun mengisyaratkan antara kejayaan kolektif umat terbaik, terkait langsung dengan perintah amar ma’ruf dan nahi mungkar “Dan hendaklah ada di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali-Imran {3} : 104).
Dari sejumlah ayat-ayat Qur'an tentang seruan ke jalan Tuhan ini, tersirat makna "bahwa seorang muslim yang taat beribadah tapi diam terhadap kemungkaran dan tak mau menganjurkan umat untuk menegakkan kebenaran, maka tak layak mendapatkan predikat muslim terbaik, bahkan boleh jadi atas kelakuannya Allah akan murka. Bahasa lainnya ahli ibadah tapi dibenci, sehingga pantas mereka diibaratkan seperti "syetan bisu" (Syaiton Akhros), termasuk ulama yang bungkam terhadap kebenaran". Na'udzubillah!
Menutup tulisan ini, penulis akan menukilkan sebuah kisah tentang bagaimana sikap orang shaleh yang kerjanya hanya ibadah dan berdzikir tanpa memperdulikan kewajiban untuk berdakwah.
Suatu ketika malaikat ingin menghancurkan suatu kampung, namun terhalang oleh kehadiran orang shaleh yang tinggal dikampung itu. Malaikat menjadi ragu, sebab bila kampung itu dihancurkan orang shaleh tersebut ikut menjadi korban.
Mengejutkan, ternyata Allah berkata kepada sang malaikat, “hancurkanlah dulu orang orang shaleh itu. Karena dia sadar akan agama dan Tuhan, tapi tidak peduli dengan berbagai kejahatan dan dosa di kampung itu".
Dari rentetan peristiwa dan sejarah bangsa didunia serta dalil Qur'an serta hadits Rasulullah SAW., yang telah kita dikemukakan, dalam konteks indonesia, maka penulis menyimpulkan :
Pertama, apa yang sedang menimpa bangsa ini, penyebabnya bukan saja dari sikap dan kesalahan seorang pemimpin, atau presidennya, melainkan akibat ulah masyarakat yang mengabaikan perintah Tuhan yang kemudian mengakibatkan perilaku buruk dan menyimpang lalu munculnya ketidakadilan, perilaku amoralitas, bahkan penguasa yang tirani (dzalim) yang puncaknya sangat dirasakan hari ini sebagai dampak rezim sepuluh tahun masa kepemimpinan Jokowi.
Kedua, sejarah peradaban Islam mengajarkan bahwa kehancuran suatu bangsa tidak terjadi secara kebetulan, melainkan akibat akumulasi penyimpangan dari prinsip-prinsip keilahian yang menjadi faktor mengundang Murka Tuhan. Itu terjadi karena kebodohan umat yang menyebabkan mereka melakukan perbuatan dosa.
Tak ada cara untuk menyelesaikan kekacauan dan keterpurukan ini selain kembali kepada tuntunan ilahi (Tauhid), dengan cara menyerukan kebaikan serta mengajak umat atau masyarakat agar menjauhi dosa (amar ma'ruf dan nahi mungkar).*
Penulis : Lulusan 1999 Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang
Tags:
opini